Selasa, 22 Juni 2010

Framing Media Terhadap Perempuan (Edisi kartini 2010)

Zaman telah berubah namun semangat yang tertoreh dalam perjuangan Kartini tidak berubah hingga saat ini. Perjuangan pahlawan nasional yang berasal dari Jepara ini menjadi motor penggerak bagi pergerakan perempuan yang cukup mendorong perubahan pandangan terhadap perempuan. Perjuangan yang pada awalnya menekankan persamaan hak dalam mengenyam pendidikan pada waktu sekarang ini telah banyak melahirkan intelektual- intelektual bangsa. Bahkan sekarang ini telah membawa perempuan kedalam zaman yang sangat berbeda, zaman modern, pascafenminism.
Menilik perempuan berdasarkan profesi dewasa ini menjadi sangat menarik. Bagaimana sebuah profesi mampu mengangkat derajat perempuan serta bagaimana perempuan modern ini tercitrakan dalam literacy media. Gerakan emansipasi yang menuntut persamaan hak antara kaum laki- laki dan kaum perempuan bisa dikatakan telah mencapai titik klimaks. Pandangan ini dapat kita lihat dalam balutan profesi perempuan dari aspek profesi. Perempuan , dalam hal ini perempuan di Indonesia telah mengalami perubahan zaman. Megawati sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan Presiden RI setidaknya memberikan gambaran bahwa perempuan telah memegang peranan penting dalam realitas sosial. Di negri ini telah banyak lahir para intelektual pendidikan dari kaum perempuan. Dilihat dari sisi pendidikan banyak perempuan telah mendapatkan pendidikannya hingga pada tataran paling tinggi sekalipun. Dalam literasi media perempuan juga memiliki peran yang sangat signifikan. Nah bagaimana posisi perempuan dalam pencitraan yang dilakukan media menjadi sangat menarik untuk dikaji. Apakah media menempatkan perempuan sesuai dengan kitahnya atau media telah memarginalisasi keberadaannya?
Perempuan dalam kaca mata media sering diposisikan sebagai objek pemuas nafsu kapitalisme, lahir atas mistifikasi pasar, terstandarisasi dan termarginal. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jika diperhatikan secara seksama kemunculan perempuan dalam media popular lebih sering dari pada laki- laki. Dilihat dari intensirtas serta durasi, perempuan lebih mewarnai media melalui konten media seperti salah satunya adalah iklan. Perhatikan saja, perempuan menjadi sesuatu yang unik, menjual sera menarik perhatian dalam media periklanan. Iklan customer goods, serta produk kecantikan telah memposisikan perempuan sebagai icon produk. Seperti halnya iklan sabun mandi selalu memamerkan keindahan tubuh perempuan. Perempuan akan jauh lebih menarik dari pada laki- laki. Menimbulkan efek yang lebih dasyat terutama dalam pencitraan produk. Sebagai contoh adalah iklan sabun Lux. Jika kita perhatikan iklan sabun Lux ini memiliki variasi yang lumayan, terdapat berbagai seri iklan serta menampilkan icon- icon yang kesemuanya adalah perempuan. Perempuan yang tergambarkan dalam iklan sabun ini diantaranya adalah Tamara Blezinky, Luna Maya, Mariana Renata hingga Dian Sastro. Perempuan yang ditampilkan ini tidak lepas dari budaya media, budaya media mainstream dalam mencitrakan perempuan yang terstandarisasi.
Perempuan sebagai icon diatas jika dianalisis secara semiotik akan melihatkan tanda- tanda yang sama, terstandarisasi. Budaya Berbie masih merajai realitas media dalam menggambarkan perempuan. Budaya media menciptakan standarisasi bagi perempuan “cantik” dengan memberikan icon icon tersebut. Realitas yang muncul adalah perempuan cantik dalam kacamata media adalah perempuan dengan kulit putih, langsing, serta memiliki perawakan yang tinggi. Hal ini memberikan dampak sosial yang sangat signifikas. Semua terstandarisasi oleh media, hingga memunculkan fenomena konsumerisme terhadap produk produk kecantikan. Banyak produk dicitrakan tidak jauh dari standarisasi ini. Produk kecantikan yang sold out dipasaran adalah produk withening, hal ini berbanding lurus dengan karakteristik perempuan cantik adalah perempuan dengan kulit putih. Budaya media telah mampu melahirkan realitas sosial, setidaknya perempuan ini menjadi sangat termarginalisasi sebagai objek. Perempuan diposisikan sebgai objek, baik objek dalam iklan – iklan maupun objek offline mereka sebagai costumer, pangsa pasar yang sangat menjanjikan.
Dalam budaya pop baik iklan maupun media lainnya perempuan tereksploitasi melalui tubuh mereka. Jika diperhatikan sebagaian besar iklan yang menggunakan perempuan akan melakukan eksploitasi tubuh dengan menonjolkan bagian- bagian tertentu yang mengisyatkan hasrat sexual. Hal ini dilakukan secara mekanis melalui anggel shot kamera maupun atribut yang dikenakan bagi perempuan. Dalam iklan sabun pasti akan memperlihatkan bagian- bagian tubuh perempuan dilengkapi dengan fashion yang mencitrakan kesexy-an. Lalu bagaimana perempuan dicitrakan dalam film?
Film merupakan budaya populer yang banyak menginspirasi masyarakat sosial. Film ini juga menggambarkan bagaimana kaum perempuan termarginalisasi dan tetap menjadi kaum subordinat dalam hal peran. Di Indonesia budaya sinetron masih menjadi tontonan yang menarik bagi sebagian masyarakat. Celakanya lagi bahwa dalam sinetron ini perempuan tetap saja digambarkan dalam berbagai sudut pandang yang negatif. Anggapan “kuno” bahwa peran perempuan adalah sebatas pada lokasi antara dapur, sumur hingga kasur masih sering tergambarkan melalui setting sinetron. Banyak sinetron yang memberikan stereotipe perempuan sebagai kaum yang lemah. Adegan menangis dalam tayangan sinetron seolah menjadi lazim dan wajib untuk disajikan untuk menarik emosi audience. Pencitraan perempuan sebagai kaum yang lemah ini juga sering tergambarkan dalam tindakan maupun alur cerita dimana perempuan digambarkan sebagai pihak yang tersakiti, lemah dan berurai air mata. Banyak adegan yang menggambarkan adegan kekerasan terhadap perempuan seperti pemukulan hingga pada korban pemerkosaan.
Perkembangan film layar lebar di Indonesia dewasa ini memang banyak mengalami kemajuan terutama jika ditilik melalui hasil produksi film. Namun bagaimana jika kita berbicara masalah kualitas dari film tersebut, apakah tetap saja memarginalisasi perempuan???! Akhir- akhir ini banyak film kontroversial yang dirilis. Mayoritas film yang dirilis adalah film dengan genre horor, mistis dan berbumbu sex. Lagi- lagi perempuan menjadi objek eksploitasi dalam film. Tidak berbeda dengan realitas sinetron film mencitrakan perempuan sebagai bagian yang dalam tanda kutipnya komersil melalui lekuk tubuh serta kisah dramatisnya. Berbagai survey yang dilakukan media menyatakan bahwa hal yang paling ditunggu dalam sebuah film adalah bagian dimana terdapat adegan yang berbau sexual. Dalam sebuah wawancara dengan beberapa produser film juga mengakui bahwa adegan sexual menjadi bumbu yang sangat menarik dalam sebuah film.
Perempuan yang ditampilkan pun tidak jauh dari standar perempuan dalam realitas media yang berbasis pada budaya barbie. Fenomena yang muncul dalam berbagai film dapat dilongok melalui judul judul yang ditampilkan seperti Suster Ngesot, Air Terjun Pangantin, Tali Pocong Parawan, Kuntilanak , Hantu Jamu Gendong Hingga Hantu Binal jembatan Semanggi. Lucu dan menggelitik bahwa judul film film ini mencitrakan “perempuan” bukan “laki- laki”. Dan anehnya pula yang menjadi hantu dalam film- film tersebut adalah perempuan dengan standarisasi media serta merupakan icon kontroversial boom sex seperti Julia Peres, Five Vee maupun Dewi Persik.
Inilah realitas perempuan yang dari jaman ke jaman tetap saja menjadi kaum subordinat yang termarjinalisasi dalam realitas media maupun realitas sosial. Lalu bagaimana seharusnya media memposisikan perempuan? Alangkah baiknya kita tilik kembali semangat Kartini untuk melihat bagaimana seharusnya peran perempuan. Memang bukan sebuah standar yang baku jika harus dikiblatkan pada pandangan Kartini namun saya rasa hal ini akan menjadi analisis kitis kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar