Representasi Fashion Punk Dalam Budaya Popular
Written by J*
(student of Media and Mass Communication, Communication Departement of Gadjah mada University)
Punk fashion has been extremely commercialized at various times, and many well-established fashion designers- such as Vivienne Westwood and Jean Paul Gaultier- have used punk elements in their production. Punk clothing, which was initially handmade, became mass produced and sold in record stores and some smaller specialty clothing stores by the 1980s. By the late 1990s, the American chain store Hot Topic established a niche in selling what they advertised as "punk style clothing" at shopping malls. Many fashion magazines and other glamor-oriented media have featured classic punk hairstyles and punk-influenced clothing. These have caused controversy, as many punks view it ashaving sold out; those wearing such clothes are often not considered real punks, although they are commonly accepted in pop punk and skatepunk circles.
Preface
Dalam kebudayaan, kita mengenal adanya subkultur. Pada umumnya subkultur muncul sebagai sebuah budaya tandingan (counter culture) dari budaya mainstream. Seiring perkembangan media serta teknologi yang melatarbelakanginya subkultur menjadi sesuatu yang dikomodifikasi oleh media. Bagaimana keberadaan subkultur ini jika dikonstruksi dalam media mainstream?. Seperti yang kita ketahui bahwa media mainstream merupakan kepanjangan tangan dari kapitalisme, semua hal hanyalah komoditas, mistifikasi pasar yang diproduksi secara masif tanpa melihat apa esensi dasar dari sebuah kebudayaan. Oleh karenanya patut kita pertanyakan bagaimana nasib dari nilai budaya- budaya subkultur ketika telah menjadi bagian dari budaya mainstream. Setiap kebudayaan merupakan sebuah konvensi, memiliki artefak yang memiliki makna sesuai dengan kesepakatan kelompok. Artefak kebudayaan sangat beragam bentuknya, dari mulai bahasa, perilaku sampai pada sebuah simbol maupun fashion yang syarat akan makna. Dalam paper ini kita akan menganalisis bagaimana fashion dari subkultur punk ini direpresentasi dalam budaya populer.
Pembahasan
Konsep dasar tentang Subkultur Punk Representasi dan Media Pop
Sebelum memasuki pembahasan lebih jauh, perlu kita mengenal apa itu subkultur punk? Bagaimana proses representasi berlangsung serta apa itu budaya pop? Punk dalam berbagai sumber diartikan sebagai gerakan perlawanan hebat melalui musik, gaya hidup komuniti dan kebudayaan sendiri. Punk muncul di Inggris paska perang dunia kedua yang dipelopori oleh para pemuda dari kelas pekerja. Dari pengertiannya kita dapat menarik sebuah poin penting yaitu gaya hidup komuniti dan kebudayaan sendiri. Fashion dapat dipahami sebagai gaya hidup, sebagai sebuah kebudayaan dan sebuah cara untuk melakukan komunikasi. Dalam wikipedia punk fashion adalah “ a distinct sosial dress others subculture and art movement including glam rock, skinhead, rud boy, art soul grouser and mods how influenced punk fashion. Punk fashion has likewise influenced the style of this group as well as those of pop culture. Pada dasarnya punk adalah anti fashion yang tercermin melalui fashion dan aksesoris yang berbeda dengan fashion masyarakat dominan
Budaya populer atau lebih sering disebut budaya pop dimaknai beragam oleh kritikus budaya massa. Beberapa pengertian yang familiar adalah pandangan Dominic Strinati serta John Storey. Budaya popular menurut mazhab Frankfrut adalah budaya massa yang dihasilkan oleh industri budaya yang mengamankan stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme. Mazhab ini memiliki kesamaan dengan versi teori marxis seperti Althusser dan Gramsci yang menyatakan bahwa budaya popular adalah salah satu bentuk ideologi dominan. Dominic Strinati dalam bukunya Popular Culture mendeskripsikan budaya pop sebagai budaya orang kebanyakan Jonh Storey memberikan pendapat tentang budaya popular. Dari keenam pengertian yang diberikan tiga diantaranya cukup familiar dan dapat menjadi acuan dalam penelitian ini. Storey memandang budaya popular sebagai budaya rakyat, sebagai budaya massa dan budaya popular yang berkedudukan sebagai budaya posmodernis.
Representasi dipahami sebagai “the social proses of representing; representation are the product of the social proses of representing”. Representasi dalam konteks ini dapat dipahami sebagai produksi makna dari konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran manusia melalui bahasa. Representasi dapat dijelaskan pula sebagai “menghubungkan antara konsep-konsep dan bahasa yang membuat manusia mampu untuk merujuk dunia objek, orang-orang, kejadian- kejadian yang bersifat nyata bahkan yang bersifat imaginer. Dalam proses representasi, terdapat beberapa masalah yang harus dipahami. Problem ini diantaranya bahwa Representasi adalah hasil dari suatu proses seleksi yang mengakibatkan bahwa ada sejumlah aspek dari realitas yang ditonjolkan serta ada sejumlah aspek lain yang dimarginalisasi. Hal ini menyebabkan hasil representasi bersifat sempit dan tidak lengkap. Apa yang dikatakan sebagai dunia nyata itu juga perlu untuk dipermasalahkan. Bahwa tidak ada satupun representasi dari realitas yang secara keseluruhan pastilah benar dan nyata. Pemikiran yang menyatakan bahwa media tidaklah harus merefleksikan realitas. Inilah yang mendasari bahwa terdapat perbedaan antara realitas budaya dengan realitas media. Agenda setting theory menyatakan bahwa agenda publik dipengaruhi oleh agenda media, demikian juga agenda publik mampu mempengaruhi agenda media.
Analisis Fenomena Fashion Punk dalam media pop
Seperti yang telah disajikan dalam prolog paper ini, fashion punk telah mengalami komersialisasi. Gaya Fashion punk telah diadopsi oleh para perancang terkenal, diproduksi secara massal, masuk dalam sebuah rantai distribusi yang teregulasi dengan sedemikian rupa. Fashion punk juga menjadi wardobe band- band pop rock. Sebagai contoh adalah penggunanan fashion punk oleh band seperti Sum 41 serta Green Day. Di Indonesia sendiri banyak artis yang menggunakan fashion punk sebagai wardrobe panggung atau style mereka. Sebut saja Ahmad Dhani, Agnes Monica serta Maia dengan Duo Ratunya yang telah bubar atau Superman Is Dead. Seperti yang kita ketahui bahwa, band maupun artis ini merupakan para pelaku didunia pop, muncul dalam layar televisi, mengadakan berbagai pertunjukan dan mendistribusikan musik video. Secara konseptual baik band pop rock maupun artis- artis tersebut mengadopsi gaya fashion punk untuk tujuan mainstream. Mereka berada dibawah lebel rekaman, medistribusikan hasil rekaman melalui media mainstream atau media pop. Dalam hal ini terjadi proses representasi terhadap fashion punk. Gambar dalam paragraf ini menampilkan salah satu aksi panggung Green Day dalam MTV Music Award. Dalam gambar ini kita dapat menemukan fashion punk yaitu spike band dan jeans belel. Kedua fashion style ini dalam subkultur punk dipahami sebagai sebuah fashion identitas yang memiliki makna yang disepakati sebagai sebuah konvensi kelompok subkultur. Makna dari Jeans Belel adalah Simbol punk yang mengidentifikasi kebebasan dan kedekatan dengan kelas pekerjaan. Jeans juga mempunyai asosiasi sebagai anti kelas. Ikat pinggang spike terbuat dari leather (kulit) dan metal spike. Kulit sebagai simbol anti kapitalis melalui penghematan sisa bahan dan metal spike adalah logam yang melambangkan sikap keras, anti dominasi pemerintah melalui bahan sisa perang. Proses representasi berlangsung dengan membawa aspek ideologi. Dalam analisis semiotik terhadap fashion jeans belel maupun spike band dapat dilihat dalam dua aspek yang membentuknya yaitu penannda dan petanda. Penanda adalah aspek fisik yaitu wujud dari fashion tersebut. Sedangkan petanda merupakan konsep mental atau pengetahuan terhadap penanda. Konsep mental ini merupakan nilai-nilai budaya serta nilai ideologis yang dimiliki oleh enterpretant. Jika dalam hal ini interpretant merupakan para pelaku bisnis mainstream yaitu para artis tersebut maka dapat dipastikan bahwa pemaknaan terhadap fashion ini berbeda dengan fashion punk dalam artian yang sebenarnya. Mainstream adalah nilai yang ditolak secara tegas oleh subkultur ini, sedangakan fashion ini direpresentasi dalam budaya mainstream atau pop. Dalam budaya pop, fashion ini mengalami sebuah degradasi nilai bahkan berbagai fashion ini mengalami keterputusan makna dari pemaknaannya sebagai suara perlawanan subkultur.
Fashion style dari subkulture punk yang terkenal dan fenomenal adalah mohawk hair style. Gaya rambut ini sangat populer. Gaya rambut dalam hal ini dapat digunakan untuk menampilkan identitas etnik, sosial dan kebudayaan. Mohawk hair style dalam subkultur punk merupakan Gaya rambut yang menentang gaya rambut pada kebudayaan dominan. Simbol ini dalam subkultur punk dikenal sebagai identitas kelompok. Gaya ini juga merupakan simbol anti rasis. Dalam budaya pop gaya rambut ini juga diadopsi menjadi sebuah hair style yang cukup populer. Bahkan dalam berbagai tampilan, gaya rambut ini mengalami berbagai modifikasi bentuk. Spike on top merupakan salah satu varian dari mohawk hair style. Tidak berbeda dengan jeans belel maupun spike band, mohawk hair style menjadi berbeda makna ketika direpresentasi dalam berbagai penampilan dalam budaya populer. Gaya rambut ini banyak bermunculan dilayar televisi melalui group musik maupun penampilan dalam film maupun jenis media pop yang lain. Keberadaannya tidak lagi menyuarakan perjuangan kelas, menyuarakan anti rasis namun hanya semata sebagai gaya atau fashion yang berorientasi pana nilai – nilai baru sesuai apa yang ingin dicitrakan oleh masyarakat mainstream. Sebagai contohnya adalah banyak artis yang menggunakan gaya spike on top hanya sebatas ingin tampil keren atau tampil “sangar”. Pada tampilan gambar dicontohkan seorang artis yang cukup kontroversial di Indonesia Ahmad Dhani serta beberapa vokalis group band kenamaan menggunakan gaya mohawk. Dalam penampilannya kita bisa melihat ada modifikasi dengan gaya mohawk pada subkulture punk. Gaya sebagai sebuah perlawanan mengalami komodifikasi nilai. Jika dalam subkultur punk nilai guna dari gaya rambut ini sebagai simbol rasis dan upaya menentang kebudayaan mainstream, dalam budaya pop nilai dari gaya ini telah diakomodir sedemikian rupa menjadi gaya fashion atau penampilan saja. Terjadi eprgeseran nilai dari nilai guna menjadi nilai tanda. Bahkan dalam berbagai kasus nilai ini telah berubaha menjadi nilai ekonomis, dengan dijadikannya tren setter bagi gaya- gaya anak muda yang dilakukan oleh institusi ekonomi seperti majalah hingga penata rambut ternama.
Punk fashion telah banyak menjadi inspirasi karya- karya para perancang yang fenomenal.seperti Jean Paul Goultier dan Vivinne Westwood. Dalam karya kedua pesohor ini banyak motif dari fashion punk yang direpresentasikan. Baik pola, bahan maupun aksesoris serta fashion lainnya seperti sepatu. Seperti halnya kita ketahui bahwa kedua perancang fashion ini adalah perancang ekslusif yang karyanya bernilai ekonomi tinggi. Bagaimana fashion punk yang berasal dari kelas pekerja mampu menjadi tren bagi para sosialite dunia memang sangat mengagumkan. Sosialite dunia yang terlihat mengadopsi gaya ini diantaranya adalah lady pop Maddona, artis kontroversial lady gaga hingga Skate Girl Avril Lavigne. Fenomena ini sungguh sangat bertolak belakang dengan makna fashion punk itu sendiri. Fashion punk pada dasarnya merupakan anti fashion. Fashion yang diciptakan sebagai counter culture terhadap fashion mainstream. Aspek historis melekat dalam penciptaan fashion punk. Berbeda dengan fashion dengan gaya nge-punk yang dirancang oleh kedua perancang ternama tersebut, fashion punk terbuat dari bahan- bahan sisa. Sedangkan fashion para perancang tersebut merupakan rancangan yang lux, dipamerkan di cat walk, menggunakan bahan berkelas serta bernilai ekonomi tinggi. Hal ini tentu berbanding terbalik dari makna yang dimaksudkan dengan penciptaan fashion punk. Berbagai adopsi dilakukan secara keseluruhan maupun hanya mengadopsi berbagai unsur fashion punk. Motif yang sering diadopsi para perancang ini antara lain kain kotak- kotak merah atau putih, bahan kulit yang dipadu dengan metal maupun kain jaring- jaring. Dalam subkultur punk semua bahan tersebut memiliki makna perlawanan terhadap budaya kapitalis. Namun ketika dikonstruksi dalam budaya pop berubah jadi bagian dari sistem kapital yang mengatasnamakan gaya dan ekonomi.
Hebdige mengemukakan bahwa ketika melihat subkultur pendekatan yang paling mampu memberi gambaran adalah semiotika yang built in dengan teori ideologi Althuserrian atau Gramscian. Althusser memberikan dua (2) thesisnya yang sangat brillian dalam pemikirannya mengenai ideologi. Kedua thesis tersebut adalah Ideologi merepresentasikan relasi individu yang imaginer pada kondisi- kondisi nyata dari eksistensinya. Thesis kedua menyatakan bahwa Ideologi mempunyai aspek material. Ideologi tidak bisa dibatasi sebagai ide semata, namun mempunyai aspek material yang menjalankannya. Berbicara semiotik, ideologi sebagai aspek mental adalah hal yang menentukan bagaimana sebuah artefak kebudayaan termasuk fashion dimaknai. Relasi imaginer ini menggambarkan keterkaitan nilai seta pengalaman budaya sebagai aspek pengetahuan dari individu. Ideologi terbentuk melalui sebuah nilai kebudayaan yang diyakini, disepakati dan diaplikasikan dalam bentuk- bentuk yang riil. Fashion ketika dipahami dalam dua budaya yang berbeda akan mengalami perbedaan makna. Hal ini terjadi karena dalam sebuah ideologi nilai telah disepakati dalam sebuah kelompok, nilai inilah yang menjadi dasar penilaian baik buruk, tinggi rendah maupun benar salah terhadap sesuatu. Binary Oposision atau oposisi biner selalu berlaku dalam setiap pemaknaan. Penilaian baik dan buruk terhadap sesuatu merupakan sebuah kesepakatan dari sebuan kelompok atau kebudayaan. Fashion punk diyakini sebagai counter culture terhadap fashion mainstream. Individu dalam subkultur ini akan memandang bahwa fashion punk sebagai sebuah hal baik, sedangkan fashion mainstream merupakan hal yang buruk. Demikian sebaliknya masyarakat massa akan mengatakan hal yang berkebalikan, bahwa budaya yang mereka yakini adalah paling benar dan paling baik.
Punk melalui fashion merupakan cerminan ideologi dimana subkultur ini menentang kelas dominan. Ideologi subkultur punk sangat berbeda dengan pandangan budaya pop atau budaya mainstream. Tujuan budaya mainstream adalah keuntungan yang sebesar- besarnya serta bersifat ekonomis. Sedangkan dalam subkultur punk sendiri terdapat nilai do it your self maupun no selling out. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pandangan budaya pop. Fashion dalam subkultur punk merupakan sebuah upaya menyuarakan nilai do it your self. Fashion diciptakan berdasarkan kebutuhan kelompok, menggunakan bahan- bahan sisa. Fashion diciptakan sendiri, bukan hasil industri dan biasanya dibuat dengan tangan (hand made). Sedangkan dalam budaya pop, fashion diciptakan sebagai sebuah industri fashion yang bernilai kapitalis lengkap dengan sistem distribusi pasar. Sebagai contoh dalam budaya pop kita bisa melihat store online untuk fashion punk di www.fashionpunk.com.
Ketika individu melakukan pemaknaan, sangat berkaitan dengan pengalaman budaya yang dimiliki. Individu yang bukan berasal dari kelompok subkultur akan mengkontruksi makna tanda atau fashion berbeda dengan individu yang berasal dari kelompok subkultur punk. Manusia dapat saling berbagi rasa, pikiran, ide dan gagasan berdasar pengalaman yang mereka miliki. Pengalaman ini disebut sebagai materi yang dimiliki oleh komunikator untuk dibagikan kepada orang lain. Pada tahap selanjutnya pesan diterjemahkan oleh penerima berdasar kerangka pengalaman yang dimilikinya menurut konvensi budaya yang menjadi latar belakangnya. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan adanya perbedaan budaya sangat dimungkinkan ditemukannya perbedaan makna pesan. John Fiske mengatakan bahwa: “So readers with different social experience or from different culture may find different meaning in the same text”. Subkultur dapat diartikan sebagai kelompok dengan kebudayaan sendiri. Definisi lainnya adalah sekelompok orang yang diberi label dan sama-sama memiliki nilai dan norma yang khas dan diyakini berbeda dengan masyarakat mainstream. Subkultur menawarkan peta makna yang menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya.
Dalam melakukan pemaknaan terhadap representasi sebuah artefak budaya terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan seperti pola konsumsi, regulasi, distribusi serta identitas. Pola konsumsi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tujuan yang melatarbelakangi konsumsi terhadap barang/ artefak kebudayaan. Perbedaan mencolok terlihat dengan pola konsumsi fashion dalam subkultur punk dengan budaya mainstream. Para anggota subkultur menggunakan pakaian sebagai identitas demikian pula dengan masyarakat pop. Perbedaan identitas ini mengakibatkan perbedaan pola konsumsi. Antara identitas perlawanan dengan identitas sebagai style pop. Pola regulasi serta pola distribusi dari fashion ini berbeda dalam dua budaya. Dalam subkultur distribusi tidak dilakukan dalam sebuah sistem yang terencana, sedangkan masyarakat massa memiliki regulasi serta jalur distribusi yang terencana dan dikuasai oleh kekuatan ekonomi. Berbagai artefak fashion yang diadopsi dalam budaya pop mempunyai pola- pola yang berbeda dengan keberadaannya dalam subkultur. Hal ini menjadikan makna yang dikonstruksi oleh audience menjadi berbeda.
Dalam represetnasinya fashion punk telah mengalami massifikasi, standarisasi dan komodifikasi. Produksi massal merupakan bentuk massifikasi. Barang menjadi terduplikat secara banyak, tidak memiliki nilai ke khas-an. Dari produk ini barang atau fashion mengalami semacam standar. Karena diproduksi secara massal jumlahnya menjadi banyak dan sama. Kapitalisme selalu berfikir akan keuntungan, termasuk dalam produksi barang. Dengan melakukan produksi barang dalam jumlah besar maka akan menghemat biaya produksi. Komodifikasi dipahami sebagai perubahan dari nilai guna kedalam nilai tanda bahkan nilai ekonomi. Jika dalam subkultur punk fashion merupakan nilai perlawanan.
Penutup
Sebagai simbol dari sebuah subkultur, fashion punk direpresentasikan dalam budaya pop melalui fashion serta aksesoris yang ditampilkan melalui budaya mainstream. Fashion punk muncul melalui fashion style rancangan perancang ternama, film, serta musik wardobe. Dalam budaya pop fashion punk bukan lagi sebagai identitas subkultur, hanya berlaku sebagai fashion style atau gaya berpakaian orang kebanyakan. Fashion punk ketika tampil sebagai fashion dalam budaya pop tidak lagi menyuarakan nilai- nilai anti kelas, sebuah perlawanan dan mengalami pendangkalan makna. Terjadi pertentangan ideologi antara subkultur punk dan budaya populer dalam memaknai fashion. Subkultur punk memahami fashion sebagai the way of live, sebuah budaya perlawanan terhadap fashion mainstream, no selling out dan do it your self. Fashion punk dalam budaya pop dipahami sebagai fashion style, yang diproduksi secara massif melalui industri budaya yang berkesinambungan dengan nilai kapitalisme. Fashion punk dalam budaya pop merupakan komoditas ekonomi yang didistribusikan melalui jaringan seperti toko online.
Dalam representasinya, fashion punk mengalami perubahan makna. Terjadi pergeseran nilai dari nilai guna fashion sebagai bentuk perlawanan menjadi hanya bermakna sebagai nilai tanda saja. Bahkan dalam berbagai fenomena nilai fashion telah berganti menjadi nilai ekonomi dengan diproduksinya secara massal melalui industri budaya dan didistribusikan kedalam jaringan yang mengutamakan motif ekonomi. Ketika direpresentasikan, lahir makna baru yang mengalami keterputusan makna dari makna fashion sebagai sebuah konvensi subkultur.